Harry Potter - Golden Snitch
Adsense Indonesia Adsense Indonesia Adsense Indonesia Adsense Indonesia

Rabu, 08 Desember 2010

BUKA LUWUR MAKAM SUNAN KUDUS


Acara yang sangat berkaitan dengan makam Sunan Kudus adalah acara Buka Luwur yang merupakan peristiwa rutin tiap tahun. Buka Luwur adalah upacara penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup makam Sunan Kudus. Acara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram itu sebenarnya acara pemasangan luwur yang baru. Buka luwurnya sendiri, sejak 6 tahun terakhir, dilakukan pada tiap tanggal 1 Muharram. Puncak acara Buka Luwur memberi kesan bagi masyarakat bahwa pada tanggal itulah hari wafatnya Sunan Kudus. Kesan ini timbul karena rangkaian acara pemasangan luwur selalu ditandai dengan acara tahlilan, yang identik dengan acara haul pada umumnya. Padahal, sebenarnya tanggal itu bukan tanggal wafat Sunan Kudus. Tanggal wafat Sunan Kudus sendiri tidak ada yang mengetahui secara pasti. Namun ada yang memperkirakan, Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1550 . Dengan begitu, acara Buka Luwur sebenarnya merupakan upacara haul yang dikemas untuk menghindari anggapan masyarakat bahwa tanggal 10 Muharram adalah tanggal wafat Sunan Kudus.

Upacara Buka Luwur setiap tahunnya memiliki serangkaian ritus. Jamas keris atau mencuci keris pusaka Sunan Kudus merupakan bagian dari ritus awal. Penjamasan Keris luk sembilan Kiai Cinthoko atau sering disebut Kiai Cipthoko, jatuh pada setiap hari Senin atau Kamis pertama setelah hari Tasyriq (tanggal 11-13 Dzul Hijjah). Air yang digunakan untuk menjamas adalah air rendaman merang ketan hitam, dan penjemurannya pun di atas brambut ketan hitam pula. Dan seusai penjamasan dihidangkan suguhan atau banca'an berupa jajan pasar. Konon, selama proses penjamasan keris pusaka Sunan Kudus ini, keadaan cuaca selalu timbreng, yakni cuaca tidak dalam keadaan terik matahari dan tidak pula mendung, apalagi hujan.


Ritus yang cukup penting adalah membuka kain mori makam Sunan Kudus. Acara membuka luwur itu dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Sejak tanggal itu sampai dengan puncak acara pemasangan luwur baru, diwarnai dengan berbagai ritus. Pada malam tanggal 9 Muharram digelar acara terbangan dan pembacaan Kitab Barzanji atau Maulid Nabi, dan diakhiri dengan Do'a Rasul. Pagi harinya, yaitu tanggal 9 Muharram pagi, dilakukan khataman al-Qur'an bi al-ghaib, Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempah-rempah. Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing sumbangan dari masyarakat yang akan dibagikan kembali kepada masyarakat.


Pada malam tanggal 10 Muharram digelar tahlil dan pengajian umum. Puncak acara Buka Luwur adalah pada tanggal 10 Muharram, yaitu pemasangan luwur baru. Acara Buka Luwur yang berpusat di Tajug (joglo tempat penerimaan tamu) itu dilakukan dengan beberapa prosesi, di antaranya adalah pembacaan riwayat Sunan Kudus, dilanjutkan dengan pembacaan kalimat tasbih bersama-sama. Rangkaian prosesi di Tajug ini diakhiri dengan pemasangan luwur baru dan ditutup dengan pembacaan tahlil berikut doanya. Pada hari yang sama, masyarakat ikut “berpesta” dengan memperebutkan makanan berupa nasi dan daging yang dibungkus daun jati.


Pelajaran paling berharga dari acara Buka Luwur, bagi masyarakat Kudus khususnya, adalah rekonstruksi kembali ingatan historisnya terhadap identitas lokal. Masih hidup dan terus bertumbuhnya komunitas muslim di Kudus, merupakan salah satu bukti nyata peninggalan sejarah kebudayaan dari Sunan Kudus sebagai seorang penyebar Islam di Pantai Utara Jawa. Makna “Kudus” sebagai kota suci, dan ketokohan Sunan Kudus sebagai ahli agama adalah artefak-artefak kebudayaan yang perlu terus digali.


Buka Luwur bagi masyarakat Kudus ibaratnya sebagai “pesta rakyat”. Hal ini dikarenakan, pada acara Buka Luwur melibatkan masyarakat secara aktif. Masyarakat mengumpulkan sendiri bahan-bahan makanan yang akan dibagikan, memasaknya sendiri, dan kemudian dibagikan kepada masyarakat lagi. Semua itu dilakukan dalam kerangka rasa syukur. Panitia Buka Luwur tahun 1427 H (2006 M) mencatat semua materi yang berkaitan dengan acara Buka Luwur berasal dari sumbangan masyarakat. Kain mori sumbangan masyarakat tercatat sebanyak 3.938 meter, dan kelambu sepanjang 120 meter. Sumbangan uang sebanyak Rp. 87.345.000, beras 12.072 kg, kerbau 11 ekor dan kambing 71 ekor. Belum lagi sumbangan berupa gula pasir, garam, kelapa dan sebagainya yang tidak mungkin dirinci. Semua sumbangan tersebut betul-betul murni dari partisipasi masyarakat, bukan dari hasil usaha panitia. Panitia dilarang mengajukan permohonan sumbangan material dalam bentuk apa pun kepada masyarakat. Larangan ini sudah turun temurun diwarisi dari para pinisepuh, “Buka Luwur jangan diada-adakan dan jangan diminta-mintakan, biarlah berjalan apa adanya”. Pengolahan bahan makanan melibatkan sekitar 1.000 orang, mulai dari penyembelihan, menanak nasi, memasak daging, membungkusi dan membagikan. Beras yang terkumpul selanjutnya ditanak menjadi nasi sebanyak 6.320 Kg, dan sisanya dibagikan kepada masyarakat, terutama yang dlu'afa, dan lembaga-lembaga sosial, seperti panitia-panitia haul tokoh-tokoh Islam dan panti-panti asuhan.Yang menarik untuk dicatat adalah proses penanakan nasi. Penanakan nasi dilakukan dalam 5 angkatan, 4 angkatan masing-masing sebanyak 1.440 kg dan angkatan terakhir 560 kg. Tiap angkatan melibatkan 16 buah dandhang yang masing-masing berkapasitas 80-100 kg beras. Dari sini saja terlihat bahwa penanakan nasi adalah sebuah “kerja kolosal” dengan melibatkan orang dalam jumlah massal, mulai dari pencuci, penanak nasi, pengatur tungku api, pengangkat nasi, ngeler dan ngipasi nasi panas, sampai dengan para pembungkus nasi. Sementara untuk memasak daging terbagi 2, yaitu daging dari hewan sumbangan biasa dan daging hewan yang diniati nadzar atau aqiqah. Daging biasa tercatat 2.958 kg, dan daging nadzar atau aqiqah tercatat 161 kg. Daging masak ini dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu ukuran kecil 2 ons, ukuran sedang 3 ons, dan ukuran besar 4 ons. Yang menarik untuk diperhatikan adalah jenis masakan daging ini ada 2, yaitu dimasak dengan bumbu uyah asem dan jangkrik, keduanya adalah jenis masakan khas Kudus. Selanjutnya hasil masakan berupa nasi daging ini dibungkus dalam 4 kategori, yaitu brekat kecil, brekat sedang, brekat besar, dan nasi bungkusan daun jati. Brekat kecil berjumlah 1.604 buah, brekat sedang 78 buah, brekat besar 65 buah, dan nasi bungkus daun jati 23.100. Lagi-lagi ini menunjukkan sebuah “kerja kolosal”. Secara keseluruhan, brekat dari berbagai kategori berjumlah 24.847 buah, sebuah jumlah yang tidak terhitung kecil lagi. Untuk ini saja membutuhkan tenaga ekstra dalam membagikannya. Dari total 24.847 bungkus nasi, kalau diasumsikan setiap brekat kecil dimakan 4 orang, brekat sedang dimakan 6 orang, dan brekat besar dimakan 8 orang, serta nasi daging bungkus daun jati dimakan 2 orang, maka ada sekitar 53.604 orang yang dapat ikut menikmati makanan brekat dari Buka Luwur. Dari sini terlihat betapa Buka Luwur benar-benar ajang yang memiliki aspek “barakah” secara sosial.


Makna Buka Luwur

Buka Luwur merupakan sebuah ekspresi dari kepercayaan melalui akal yang mencoba memahami realita kebenaran mengenai manusia dan sejarah serta kalbu yang digunakan untuk memahami pesan firman-firman Tuhan melalui perasaan.

Hal itu menghasilkan rentetan ceremony atau upacara yang berlangsung secara kronologis dan berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang menjadi ekspresi perasaan masyarakat dalam dinamika tindakannya.

Peringatan Buka Luwur mempunyai nilai yang cukup tinggi. Meneladani nilai-nilai dari perjuangan para wali khususnya sunan Kudus dalam hidup bermasyarakat.

Secara historis, dalam menyebarkan agama Islam para walisongo menggunakan berbagai macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha.

Akhirnya agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi.

Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menrima Islam sebagai agama baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh sunan Kudus.

Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan masyarakat, dengan bentuk masjidnya yang menyerupai kulkul di Bali yang mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.




Artikel Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar

Banner Link Sahabat