

Setelah menjalani perawatan yang intensif RSUD selama kurang lebih satu malam itu, sekitar pukul Kamis (22/7) pagi sekitar pukul 10.50 WIB, kiai yang memiliki seorang istri bernama Salamah Ma'ruf dan empat anak dan beberapa cucu itu akhirnya meninggal dunia.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Muta'allimin Kudus yang wafat pada pukul 10.50 WIB itu dimakamkan pukul 16.00 WIB, di pemakaman umum di Desa Krapyak, dengan diikuti ribuan pelayat dari sejumlah daerah di Kudus dan sekitarnya.
Sejumlah tokoh yang hadir dalam upacara pemakamannya yakni Kiai Sya'roni Achmadi, Kiai Basyir, Ketua MUI Kudus Kiai Syafiq Nashan, Ketua PCNU Kudus Khusnan dan sejumlah pejabat Pemkab Kudus.
Kyai Ma’ruf terkenal dengan kesederhanaan, keikhlasan dan tidak mau menyusahkan orang lain. Masih ingat di benak saya, beliau kemana-mana selalu menggunakan sepeda onta.
Kyai Ma’ruf berhenti memakai sepeda onta sekitar tahun 2007, mungkin karena beliau sudah tua dan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, para santri dan murid mengantarkan beliau mengajar, mengisi pengajar maupun kegiatan lainnya dengan sepeda motor atau mobil.
Bagi seorang santri, mengantarkan kyai merupakan ada nilai lebih karena akan mendapat barakoh. Mungkin secara rasional tidak masuk akal, karena harus mengeluarkan uang bensin dan tenaga. Tapi justru ini yang jadi rebutan para santri.
Beliau juga murid almarhum Kyai Turaichan Adjuri—ahli falak dari Kudus. Ulama kharismatik yang selalu memegang dengan teguh pendapatnya walaupun harus berhadapan dengan penguasa.
Almarhum KH Turaichan selalu mengadakan pengajian saat bulan romadhan di Masjid Langgar Dalem selama satu bulan. Kyai Ma’ruf pun mengikuti pengajian kyai Turaichan dan menyimak apa yang disampaikan Kyai Turaichan.
Kyai Ma’ruf datang ke pengajian Kyai Turaichan berjalan kaki karena lokasi sangat dekat dengan Masjid Langgar Dalem. Banyak santri dan murid Kyai Ma’ruf merasa sungkan melewati jalan yang biasa dilewati Kyai Ma’ruf ke pengajian Kyai Turaichan.
Begitu pula saat duduk di pengajian Kyai Turaichan. Ketika terlambat dan tempat pengajian Kyai Turaichan sudah penuh, Kyai Ma’ruf rela duduk di halaman masjid. Melihat ini, para santrinya yang juga ikut ngaji KH Turaichan mempersilahkan ke tempat yang lebih layak.
Belum lagi undangan mengisi pengajian yang tidak mau dijemput dengan berangkat sendiri. Waktu masih sehat, Kyai Ma’ruf selalu mendatangi siapapun yang mengundang baik kalangan kelas bawah maupun kelas atas.
Kyai Ma’ruf tidak pernah memasang tarif dalam memberikan ceramah .“Kalau ada amplop diterima, kalau tidak, ngak apa-apa,” itulah cerita Kyai Ma’ruf yang pernah saya dengarkan. Tindakan yang dilakukan Kyai Ma’ruf sangat berbeda dengan kyai atau ustadz jaman sekarang yang tindakannya seperti artis dengan memasang tarif tertentu.
Dan keikhlasan ini terbawa saat kematian menjembut beliau. Para warga, santri, pejabat Kudus secara ikhlas mengantarkan beliau ke peristirahan terakhir. Mereka tidak digerakkan oleh uang sebagaimana politik yang ada di Indonesia, tapi nilai-nilai yang telah diajarkan Kyai Ma’ruf.
Belum lagi murid beliau yang di luar kota, misalnya di Jakarta. Saat berita kematian, salah satu murid beliau yang menjadi anggota DPR mengumpulkan para murid beliau di Jakarta untuk diajak ke Kudus memberikan penghormatan terakhir pada Kyai Ma’ruf.
Akhirnya selamat jalan guru, sahabat KH Ma’ruf Irsyad. Hanya doa Allahumaqfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fuanhu dan kiriman Alfatihah. Amien..




0 komentar:
Posting Komentar